Zander prihatin karena tiang lampu yang berjajar di tepi pantai menyorot sepanjang malam. Pantai kian terang saat lampu gedung di sekitarnya menyala sampai pagi. Terlalu banyak cahaya di kota besar, sahut pemuda asal Placidia, Florida ini. Cahaya dan arah perjalanan penyu memiliki kaitan yang bertolak belakang.Tukik (anak penyu) hanya butuh cahaya bulan untuk berlari ke laut. Itu naluri alami seekor tukik, demikian Zander menyebut fenomena ini.
Ketika lampu gedung dan jalanan lebih terang dari sinar bulan, tukik akan kehilangan arah. Tukik butuh cahaya alam, bukan sinar buatan, paparnya kembali. Menurut Zander,kemilau cahaya buatan yang memantul ke pantai menjadi salah satu alasan kemerosotan populasi penyu. Pengunjung pantai yang bergerak, cahaya gedung, dan lampu di tepi pantai mengurungkan niat penyu dewasa untuk bersarang. Mereka memutuskan kembali ke laut tanpa menggali sarang.
Kota yang semakin maju dibarengi dengan bertambahnya polusi cahaya. Kondisi ini menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu, tetapi tragis bagi kehidupan penyu, ujarnya. Zander ingin mengajak masyarakat perkotaan melihat fenomena ini secara bijak. Kebanyakan orang mengenal penyu dari nama dan bentuknya, bukan fungsinya, tutur peraih Brower Youth Award 2008 ini.
Penyu melindungi biota laut, khususnya ikan-ikan kecil dari serangan predator, termasuk hiu. Binatang berkaki dayung ini memberi makan ikan di sekitarnya dengan sisa metabolisme. Jika penyu punah, stok ikan akan berkurang, paparnya kemudian. Kepedulian Zander akan populasi penyu dimulai saat dia berusia 10 tahun. Saat itu, Zander bersama keluarga berlibur di Gasparilla Kecil, kawasan pantai dekat Teluk Meksiko. Seperti anak-anak lain, Zander selalu antusias jika diajak pergi ke pantai.
Apalagi pondok peristirahatan orang tuanya dekat dengan pantai. Perjalanan ke pantai bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Dia suka bermain pasir di tepi pantai. Mendirikan benteng dan mengubur badan dengan pasir menjadi aktivitas yang tidak mungkin dilewatkan Zander. Satu hari dalam rangkaian liburan, Zander mengunjungi sebuah sekolah di dekat pantai. Menurut cerita, para pendidik di sekolah ini punya metode khusus supaya siswa menghargai lingkungan.
Ternyata benar apa yang dikatakan orang. Para siswa memiliki taman khusus. Mereka menanam pohon dan merawatnya sendiri. Di depan setiap pohon terdapat papan yang menunjukkan si perawat tanaman. Orang tua Zander senang karena kedatangan mereka ke sekolah ini tidak sia-sia. Zander bertemu dengan Linda Soderquist, seorang pengajar yang juga seniman lokal.
Dia adalah salah satu penggagas metode pendekatan lingkungan di sekolah tersebut. Linda mengajak Zander ke pusat konservasi penyu. Letaknya tidak jauh dari sekolah. Di sana, Zander melihat tukik dan beberapa sarang penyu. Linda memonitor setiap sarang. Dia mengukur suhu dan memastikan telur berada dalam kondisi aman. Zander melihat semua yang dikerjakan Linda.
Dia bertanya banyak tentang seluk-beluk penyu. Linda menjawab sambil tetap memeriksa sarang. Zander yang terkesan lantas meminta izin supaya diperbolehkan memeriksa sarang. Dia melihat puluhan telur penyu. Akan ke manakah mereka setelah menetas nanti? tanya Zander kepada Linda.Kemudian menyusul pula pertanyaan-pertanyaan lain Zander.
Linda pun takjub mendengar pertanyaan Zander. Usianya mungkin baru 10 tahun, tetapi pertanyaannya mendetail. Hari berikutnya, Linda mengajak Zander ke pantai. Pendidik inilah yang memperkenalkan habitat laut kepada Zander. Linda memberikan pengertian tentang pentingnya populasi penyu dalam kehidupan manusia. Zander mencermati setiap penjelasan Linda. Liburan kali ini sungguh berkesan bagi Zander.Dia pulang membawa satu pengetahuan baru.
Dia lantas mengisahkan pengalaman liburan ke teman-teman. Populasi penyu terancam punah. Kita harus melakukan sesuatu, kata Zander di depan teman-teman. Zander ingat, beberapa guru sempat tersenyum mendengar dia berseru seperti itu. Barangkali karena ekspresi saya terlihat lucu saat mengucapkan itu, katanya seraya berkelakar. Siswa sekolah dasar (SD) berbicara tentang pelestarian populasi penyu.
Terdengar menakjubkan.Namun, tetap saja ada yang meragukan niat Zander. Apalagi mengingat usianya yang baru 10 tahun. Yang jelas, Zander tetap melaju dengan rencananya. Dia berhasil menulis sebuah buku, Turtle Talks. Buku yang dirilis pada 2005 ini berisi pengalamannya terkait populasi penyu.Hingga kini,Turtle Talks sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Spanyol.
Sedikitnya 13.000 eksemplar berhasil dijual dan hasil penjualan sebesar USD1200 (Rp11 juta) disumbangkan ke badan konservasi penyu, menurut hasil penyelidikan Gerbang Type Approval. Selain menulis dan mengajar pendidikan lingkungan di beberapa sekolah, Zander masih melakukan aktivitas yang sangat disukai. Saya masih kerap ke pantai, menjadi saksi atas perjalanan awal tukik, papar Zander.
0 komentar:
Posting Komentar