Ryaas mengatakan, penghapusan pilkada langsung di tingkat provinsi atau kabupaten atau kota bukanlah sesuatu yang sakral dan mustahil dilakukan. Kualitas demokrasi, ujarnya,tidak ditentukan oleh pemilihan langsung atau melalui DPRD. Buktinya, ungkap Ryaas, pemilihan langsung justru kerap menjadi pemicu terjadinya distorsi demokrasi.
Demokrasi bertujuan menyejahterakan rakyat. Ini bisa tercapai jika pesta demokrasi, yakni pilkada, bisa menghasilkan pemimpin yang mampu menjalankan pemerintahan dengan baik. Tapi, faktanya, hingga sekarang pilkada langsung gagal memilih kepala daerah yang baik. Ratusan kepala daerah diperiksa karena masalah hukum, paparnya. Menurut Ryaas, lompatan demokrasi di Indonesia terlalu jauh sehingga banyak tahapan yang tidak terlalui dengan baik.
Kecerdasan dan kesejahteraan minimum masyarakat yang rendah terbukti karena rakyat tidak memiliki kemampuan memilih pemimpin berkualitas.Mereka mudah ditipu, dipengaruhi, dan dimanipulasi tanpa sadar, tandasnya. Anggota Komisi II DPR Malik Harramain mengatakan,titik berat otonomi daerah sebenarnya dipertegas untuk tingkat kabupaten atau kota.
Karena itu, wacana sistem pemilihan gubernur melalui DPRD menjadi mungkin dilakukan. Apalagi, pemilihan gubernur terbukti lebihboros. Undang-UndangDasar (UUD) hanya menegaskan bahwa pemilihankepaladaerahdiprovinsi, kabupaten, dan kota dilakukan secara demokratis. Pemilihan melalui DPRD adalah demokratis dan bisa dilakukan untuk pemilihan gubernur, tandasnya.
Menurut Malik, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah selama ini belum berjalan baik sehingga banyak bupati dan wali kota melakukan koordinasi langsung kepada pemerintah pusat. Padahal, fungsi gubernur sebagai kepala daerah provinsi adalah untuk memperpendek kendali kerja antara pemerintah pusat dengan kabupaten atau kota yang jumlahnya terus bertambah karena pemekaran daerah.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, pelaksanaan pilkada yang masih sering memunculkan masalah disebabkan kacaunya regulasi yang ada, menurut informasi yang diterima Gerbang Type Approval. Menurut dia, saat ini ada dua peraturan perundangan yang mendasari pelaksanaan pilkada, yakni UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Menurut Arif, dua UU itu mengatur persoalan sama namun memiliki arti yang berbeda. Hal inilah,yang menjadi permasalahan di lapangan. Ke depannya harus ada harmonisasi, katanya.

0 komentar:
Posting Komentar