Aksi radikalisme mengatasnamakan agama seringkali terjadi dan mewarnai pemberitaan di media massa. Direktur Eksekutif Moderate Muslim, Zuhairi Misrawi mengatakan penyebab radikalisme di Indonesia lebih banyak dikarenakan aspek politik.
"Polisi juga tidak mempunyai protap (prosedur ketetapan) yang dapat menindak dengan tegas aksi-aksi tersebut," imbuh Zuhairi dalam diskusi Nasionalisme vs Radikalisme di Gedung KWI, Jakarta, Jumat (20/5/2011).
Zuhairi menceritakan dalam kasus Ahmadiyah, pemerintah tidak tegas dalam mengadili pelaku yang melanggar hukum. "Saat ada yang meninggal baru kasus itu diusut," imbuhnya.
Diskriminasi terhadap Ahmadiyah juga banyak ditemui di tempat lain seperti tidak mendapat akses untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kenyataan pula, lanjut Zuhairi, bahwa pihak yang melakukan penyerangan bukanlah dari warga sekitar. Namun berasal dari kelompok di luar lingkungan tersebut.
Kasus pembakaran Masjid di Sumatera Utara, kata Zuhairi, juga awalnya dituduhkan dilakukan oleh pemeluk agama lain.
"Ternyata dari kelompok itu sendiri. Masalah sebenarnya adalah sengketa tanah," ujarnya. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus penyegelan GKI Taman Yasmin dimana pihak Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan ibadah namun tidak disetujui Pemerintah Kota Bogor.
Menurut Zuhairi, gerakan radikalisme sebenarnya dapat dikikis oleh peran serta pemerintah. Anggota mereka biasanya berasal dari golongan bawah yang kesulitan untuk menjalani hidup sehari-hari.
"Mereka harus disejahterakan secara ekonomi. Buka peluang kerja bagi mereka seperti usaha peternakan, berkebun atau jadi PNS. Hal itu sebagai cara agar radikalisme diminimalisir," tukasnya. Demikian catatan online Leak yang berjudul Aksi radikalisme mengatasnamakan agama.
Harga Tiket Peswat Untuk Lebaran Naik 200 Persen
6 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar